• Wisuda Tanpa Papa

    Cerpen Ridha Sri Wahyuni

    Aku memasuki ruang ujian dengan hati berdebar kencang. Aku seperti berada di sebuah ruang pengadilan, dan para dosen seperti hakim yang sebentar lagi akan menjatuhi vonis untukku; lulus atau gagal. Berhasil menyabet gelar S.Pd. atau sebaliknya, keluar dengan perasaan malu. Persiapanku kurasa telah matang. Aku telah berlatih menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan keluar dari mulut dosen pengujiku. Fisik pun telah kupersiapkan dengan baik. Aku tidur lebih awal tadi malam agar hari ini aku merasa segar. Tidak lupa aku salat malam untuk memohon pertolongan Allah agar aku dimudahkan dalam ujian skripsi ini.
                Ini adalah saat yang paling mendebarkan bagi seluruh mahasiswa. Kompre. Titik akhir perjuangan di kampus tercinta. Akhir di dunia akademik sekaligus menjadi titik awal bagi perjuangan seseunguhnya di luar kampus. Setiap mahasiswa yang ingin meraih gelar sarjana dari almamater ini, harus melewati fase tersulit ini. Fase yang paling menakutkan, apalagi jika mendapatkan dosen penguji yang killer.
                Power pointku sudah siap untuk dipresentesikan. Dengan mengucapkan basmallah aku memulai memaparkan hasil penelitian skripsiku. Setelah itu, para dosen pengujiku pun mengujiku dengan serangkaian pertanyaan.  Aku menjawabnya dengan tenang dan memberikan alasan-alasan yang dapat memperkuat pernyataanku. Akan tetapi sang dosen tidak mudah puas. Mereka memberikan pertanyaan-pertanyaan baru pada setiap jawaban yang kuutarakan. Mereka benar-benar menantangku untuk dapat mempertahankan skripsiku. Bahkan mereka mengusik ketahanana mentalku dengan suara yang cukup keras dan seolah-olah menyalahkan pendapatku. Jujur saja pertahanan yang kubangun sekuat mungkin sedikit goyah karena aku terjebak oleh ucapanku sendiri. Aku sempat terdiam, mencari-cari apa lagi yang harus kukatakan untuk mempertahankan pendapatku. Suasana semakin tegang, dan tubuhku mulai panas dingin. Dengan suara sedikit gemetar, terus kuyakinkan para dosen pengujiku hingga mereka mengakhiri interogasi itu.
                Satu setengah jam di ruang sidang bagiku bagaikan berhari-hari. Begitu lama. Dan bagian yang paling lama adalah saat menunggu para dosen pengujiku berembuk untuk menentukan vonis bagiku. Tuhan, beginikah rasanya menunggu detik-detik aku dinyatakan lulus ujian atau tidak? Bagaimana nanti rasanya saat menunggu keputusan dari-Mu, untuk masuk surgakah atau masuk neraka? Aku tidak bisa membayangkan betapa gemetarnya kakiku saat hari keputusan yang sesungguhnya benar-benar tiba. Sementara untuk urusan dunia begini saja, tubuhku terasa tidak mampu lagi berpijak di atas bumi.
                “Nindia…silakan masuk kembali ke ruangan”, seru bu Khai, dosen pembimbingku. Dengan langkah gemetar aku menuruti ucapan beliau. Seperti adegan slow motion, aku mengikuti gerak demi gerak bibir bu Khai.
    “Maaf Nindia, sayang sekali…”
    Aku sudah ingin pingsan membayangkan kelanjutan kata-kata beliau. Aku merasa duniaku sebentar lagi akan kiamat. Aku tidak ingin gagal
    Bu Khai sengaja mengulur-ulur waktu, sengaja ingin menonton wajahku yang sudah semakin pucat.
    “Dengan berat hati kami harus mengatakan…”
    Waktu nyaris berhenti berdetak. Tubuhku serasa tak berdarah lagi.
    “Nindia,selamat,  kamu lulus ujian skripsi!”
    Allahu Akbar. Air mata haru pun mengalir deras dari wajahku. Terima kasih ya Allah, akhirnya aku bisa menyematkan gelar S.Pd. di belakang namaku. Sungguh semua ini bagaikan mimpi. Kusalami para dosenku satu persatu. Teman-temanku berhamburan masuk ruang sidang seraya memelukku. Hari ini sungguh hari yang teramat bahagia.
    ***
    Sebentar lagi aku diwisuda. Aku telah menunaikan amanah orangtuaku, kuliah tepat waktu dengan IPK bagus. Mama bangga padaku. Dan, papa, aku tahu papa yang telah tenang di sana juga bangga melihat keberhasilanku. Kebahagiaan ini akan sempurna andai papa masih ada di sini. Semua ini tak lepas dari motivasi papa yang selalu membuatku ingin menjadi yang terbaik. Pa, lihatlah anakmu sekarang, aku sudah menepati janji pada papa.
                “Kalau lagi kuliah, usahakan selalu duduk di bangku depan. Supaya fokus dan dapat menyerap ilmu yang diberikan dosen. Kamu juga harus aktif bertanya jawab dengan dosen-dosenmu,” aku masih ingat nasihat papa di awal-awal aku kuliah dulu. Papa juga selalu memotivasiku agar mendapatkan IP bagus di setiap semester. Aku senang melihat wajah papa berbinar-binar setiap kali memandangi lembaran hasil studiku.
                “Ini baru anak papa. Nggak ada nilai C nya. Bagus! Kalau begini terus, papa yakin kamu bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu. Bisa tiga setengah tahun, nggak?”
    Nggak bisa, Pa. Di jurusan Nindia, praktek lapangannya semester delapan, gimana bisa mengejar tamat tiga setengah tahun?”
    “Oh begitu, nggak apa-apa! Kalau kamu bisa tamat delapan semester, papa akan kasih hadiah. Pokoknya papa ingin cepat melihatmu memakai toga sebelum papa pergi dari dunia ini”
    “Papa kok ngomong gitu, sih? Nindia nggak suka papa bicara seperti itu! Nindia janji akan wisuda tepat waktu dan papa akan melihat Nindia memakai toga”
    “Semoga!”, ucap papa sambil menghela napas tanpa semangat.
    Aku tidak tahu jika ucapan papa saat aku memperlihatkan Indeks prestasi di semester enam itu adalah sebuah pertanda bahwa papa akan pergi selamanya. Ya, papa pergi di awal perkuliahan semester tujuhku. Papa mendapatkan serangan jantung dan tidak dapat ditolong lagi.
    ***
    Wisuda sudah semakin dekat. Namun ada kegelisahan yang melanda hati ini. Aku belum mempersiapkan apa-apa untuk pesta kelulusanku itu. Aku baru menyadarinya saat teman-temanku berbincang-bincang tentang kebaya yang akan mereka pakai di hari bahagia itu, tentang sandal model apa yang akan mereka beli, dan di salon mana mereka akan berdandan. Aku hanya terdiam. Sebelumnya semua ini tak terpikirkan olehku. Aku hanya ingin keluargaku lengkap di hari wisudaku. Aku ingin papa ada. Aku tidak peduli dengan kebaya, sandal dan salon. Bagiku kehadiran papa lebih penting dari semua itu.
    Tetapi papa sudah tiada. Aku akan diwisuda tanpa papa. Dan sepertinya aku juga akan diwisuda tanpa kebaya yang bagus, tanpa sandal bertumit tinggi, dan tanpa dandanan cantik di salon yang harganya pasti mahal.
    Aku tidak ingin menuntut banyak pada mama. Aku tahu, keadaan keuangan keluarga kami semakin sulit sejak kepergian papa. Pengeluaran untuk mengurus administrasi wisuda pun sudah cukup banyak. Aku harus mengalah dengan keadaan.
    ***
    “Lagi mikirin apa, Nindia?” Tanya mama saat aku asyik melihat model kebaya terbaru dari tabloid wanita punya tetangga.
    Aku menggeleng pelan, “Nggak mikirin apa-apa, Ma”
    Mama tersenyum seraya duduk di dekatku. “Besok, temani Mama ke Bukitinggi, ya!”
    “Ngapain Ma?”
    “Mama ingin membeli sesuatu”
    Aku mengangguk sembari tersenyum.
    Tidak kusangka, keesokan harinya Mama menyuruhku memilih dasar kebaya yang kusuka. Sungguh sebuah kejutan bagiku. Pilihanku pun jatuh pada sebuah kebaya cantik berwarna hijau toska. Setelah itu mama langsung membawaku ke tempat penjahitan kebaya yang terkenal di Bukittinggi. Mama juga yang mengusulkan model jahitan yang bagus untukku. Aku senang sekali hari itu. Tidak hanya itu, Mama juga mengajakku ke toko sandal untuk memilih sandal yang akan kukenakan di hari wisuda.
    ***
    “Terima kasih ya Ma. Mama paling tahu apa yang Nindia inginkan. Maaf ya Ma, uang Mama keluar banyak gara-gara beli kebaya dan sandal. Padahal Nindia udah berencana pakai baju kurung aja saat wisuda”, kataku pada mama dalam perjalanan pulang kami.
    “Sebenarnya Mama lagi nggak punya uang. Kamu tahu kan, Mama juga harus bayar uang semester  adik kamu”
    “Terus mengapa Mama beliin kebaya dan sepatu? Kan uangnya bisa untuk bayar uang semester adik?”
    “Ini amanah almarhum Papamu, Nak”
    “Amanah Papa?” aku mengulangi ucapan mama dengan nada bertanya.
    “Iya. Sebelum papa meninggal, beliau memberikan Mama sejumlah tabungan untuk kebutuhan kamu saat wisuda. Mungkin saat itu papa sudah merasa ia tidak bisa hadir di hari wisuda kamu. Papa bilang, ia ingin kamu tampil cantik saat wisuda. Papa berpesan pada Mama, kamu harus dibelikan kebaya yang kualitasnya bagus agar kamu tampil menawan di hari bahagia kamu, sekaligus hadiah untuk keberhasilanmu tamat tepat waktu”, tutur Mama.
    “Jadi papa sempat-sempatnya memikirkan itu sebelum pergi, Ma?” aku terharu. Bahkan dalam tiada pun papa masih memberikan cintanya padaku.
    Mama tersenyum mengiyakan. “Begitulah papa, ia sering memberikan sesuatu yang tidak kita duga. Papa suka memberi kejutan”
    Aku memeluk mama. Dalam kehangatan pelukan mama, aku merindukan sosok papa. Papa yang sangat kusayangi. Papa yang selalu bisa membuatku tersenyum meski raganya kini tak ada lagi di dekatku
    ***
    Saat yang kunanti pun tiba. Hari wisudaku. Hari bahagiaku. Kulihat mama di deretan kursi untuk para undangan, menatapku bangga. Di samping mama, ah, itu papa. Ya, itu papa! Beliau tersenyum sambil melambaikan tangan padaku dan seolah hendak mengatakan, “Papa bangga padamu, Nak”
    Aku tersenyum haru. Wisuda hari ini bukan wisuda tanpa papa. Karena papa selalu ada di hati dan di jiwaku. Kapan pun. Di mana pun.
    ***


    (Terinspirasi dari kisah nyata seorang teman, dan kini mamanya pun telah pergi beberapa bulan setelah ia wisuda. Semoga Allah memberikan ketabahan padanya, amin) 

    Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. mengharukan banget kisahnya
    apalagi waktu sadar kalo kisah ini terinspirasi dari kisah nyata

Posting Komentar