• Selamat Jalan Ungku



    Minggu, 13-01-13

    Rasanya aku tak sanggup menatap Ungku (kakekku). Beliau sangat lemah. Sesekali terdengar gumaman tak jelas dari mulutnya. Umur ungku sudah 90 tahun. Selama empat bulan belakangan ini Ungku hanya bisa berbaring dengan suaranya yang semakin lemah. Ungku tak mau lagi makan nasi. Hanya buburlah yang mengisi perut Ungku. Ungku tak bisa duduk. Buang air kecil dan besar dilakukan di tempat tidur. Ayah dan ibuku yang membereskan segala kotoran Ungku. Ayah, menggendong tubuh ungku yang kurus ke kamar mandi sendirian. Setelah buang air biasanya ayah memandikan ungku. Luar biasa sekali ayahku! Ibupun begitu, setiap pagi ibu mengelap tubuh ungku dengan air hangat. Kotoran air kecil dan air besar dengan sabar dan telaten dibersihkan ibu tanpa merasa jijik. Karena itulah ungku tak pernah bau. Orang-orang yang menjenguk ungku tidak menicum bau busuk dari tubuh ungku. Ibarat kata, sudah puaslah ibuku merawat orang tuanya.

    Minggu malam itu, sekitar jam 9, keadaan ungku semakin kritis. Kami berkumpul bersama dan duduk di dekat ungku. Ya Allah, ungku sepertinya tak akan lama lagi…Napasnya sudah sesak. Ungku tak dapat lagi bersuara…Ungku menghela napas dengan kepayahan.
    Ibu dan etekku (adik kandung ibu) membisikkan tahlil di telinga ungku. Aku kasihan sekali melihat ungku. Ya Allah…inikah sakaratul maut? Sudah tibakah saatnya bagi ungku?

    Ungku, dengan napas tersengal-senga dan bibir bergetar tampak mengikuti ucapan tahlil yang dibisikkan Etek di telinganya. Napas ungku semakin kepayahan. Kuku kakinya sudah mulai membiru…kakinya dingin…tangan ungku gemetaran…bibirnyapun terus bergetar, mengikuti ucapan tahlil yang dibisikkan.
    Lalu giliran kuku tangannya yang membiru, sementara napasnya semakin jerih…tetap mengeja tahlil melalui getaran bibirnya meski tak terdengar oleh kami apa yang ia ucapkan…
    Dan setengah sepuluh malam ungku pergi menghadap-Nya dengan tenang…
    Ya Allah, ungku telah pergi…
    Ungku tak bergerak lagi. Tak ada. Tak ada napas, tak ada getaran bibir ataupun suara gumaman
    Ungku benar-benar pergi dengan tenang…
    Malam itu sanak saudara dan tetangga pargi melayat ke rumahku. Selama ini ungku memang dirawat di rumahku. Ungku terbujur kaku, ya Allah rasanya malam itu aku tak percaya ungku telah tiada.
    Malam itu, kami tidur dekat ungku yang telah terbujur kaku. Ayah tidur di dekat kepala ungku. Mak adang (Pamanku) tidur di dekat kaki ungku. Aku dan etek tidur di samping mak Adang. Bahkan aku tidur di kasur yang biasa ditiduri ungku hingga hembusan napas terakhirnya. Tak ada rasa takut dalam diri kami. Mengapa mesti takut tidur di dekat orang yang kita sayang? Ya Allah, aku masih merasa ungku hanya tertidur nyenyak…

    Esoknya, jam 12 ungku diantarkan ke tempat pertistirahatannya yang terkakhir. Ada rasa sedih juga ketika aku melihat ungku dikapani. Ungku dibungkus kain putih. Ungku…
    Lalu ungku dimasukkan ke dalam tanah, ditimbun…Ungku…
    Aku tak ingin menangis dihadapan orang-orang. Ibu yang tegar tak sedikitpun menangis. Ungku telah bahagia, ucap ibu. Malah ibu marah pada bibiku yang menangis melihat ungku menghadapi sakaratul maut. Namun dalam kesunyian, ketika aku sendiri dan kembali teringat ungku, aku sedih. Ah, apa salahnya kita menangis? Menangis tanda kasih sayang. Ungku yang selalu ada di rumah, kini tak ada lagi. Rasa kehilangan itu manusiawi bukan? Bukankah Rasulullah juga menangis saat anaknya Ibrahim meninggal dunia?
    Kini ungku telah tiada…Ya Allah semoga ungku tenang di sana…Amin…

    Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar