Cerita Anak
Oleh: Ridha Sri
Wahyuni
“Ayahku adalah seorang
guru Matematika. Beliau sangat cerdas. Jika aku kesulitan mengerjakan PR, ayah
selalu membantuku. Karena itulah aku sering mendapatkan nilai bagus dalam
pelajaran Matematika. Aku bangga sekali pada ayahku”, ucap Rudi di depan kelas
dengan penuh semangat. Teman-teman Rudi bertepuk tangan setelah Rudi selesai
bercerita. Hari itu para siswa mendapatkan tugas menceritakan pekerjaan ayahnya
masig-masing di depan kelas. Seluruh siswa gembira dengan tugas tersebut.
Mereka berebutan mengangkat tangan untuk maju ke depan kelas. Mereka bangga
dengan sosok ayahnya masing-masing. Namun tidak demikian dengan Andi. Ia merasa
malu untuk menceritakan pekerjaan ayahnya. Karena itulah Andi tidak pernah
mengangkat tangannya.
“Bagus sekali Rudi! Nah
sekarang siapa lagi yang ingin bercerita di depan kelas?”, tanya ibu guru.
“Saya Bu, Saya Bu…”,
jawab beberapa siswa.
“Silahkan Ani, maju ke
depan kelas ya Nak”, ucap bu Guru, mempersilakan Ani yang menunjuk duluan
dibanding siswa lainnya.
Ani melangkah ke depan kelas dengan penuh
percaya diri. Ia pun memulai ceritanya.
“Ayahku bernama Ibrahim.
Beliau adalah seorang dokter. Kerjanya mengobati orang yang sakit. Dokter
adalah pekerjaan yang mulia,karena dapat menolong banyak orang. Aku bangga pada
ayahku. Kelak,aku juga ingin menjadi dokter seperti ayah”, tutur Ani di depan
kelas.
Bu Guru dan teman-teman
Ani memberikan tepuk tangan untuk Ani. Mereka juga mengagumi ayah Ani. Mereka
pernah melihat Ani diantar oleh ayahnya ke sekolah. Ayah Ani terlihat gagah
sekali dengan jas putih dokternya. Ayah Ani sangat ramah. Beberapa orang teman
Ani sudah pernah berobat dengan beliau. Sakit mereka pun sembuh dengan cepat
setelah diperiksa dan diberi obat oleh ayah Ani.
“Tepuk tangan untuk Ani!
Semoga Ani bisa mewujudkan cita-citanya menajdi dokter seperti ayahnya” ucap bu
Guru. “Nah, sekarang giliran siapa lagi?”
“Saya Bu!” Anggi
mengangkat tangannya cepat. Bu guru pun mempersilakan Anggi ke depan kelas.
“Ayahku seorang polisi.
Beliau tampak gagah sekali saat memakai seragam polisi. Berkat ayahku,
lingkungan menjadi aman. Jika ada penjahat, ayahku akan segera menangkapnya.
Polisi adalah orang yang ditakuti dan disegani. Aku bangga pada ayahku”
Suara tepukan tangan
kembali terdengar riuh di kelas itu. Bu guru memuji penampilan Anggi.
Teman-teman Anggi juga tampak senang mendengar cerita Anggi.
Karena waktu belajar telah
habis, pembelajaran dilanjutkan lusa.
***
Sepanjang perjalanan
pulang Andi terlihat murung. Lusa akan tiba gilirannya untuk bercerita di depan
kelas. Namun ia sangat malu bercerita di depan teman-temannya. Andi juga merasa
iri dengan teman-temannya. Mereka memiliki ayah yang hebat-hebat. Rudi, ayahnya
seorang guru Matematika. Ani, ayahnya seorang dokter. Anggi, ayahnya seorang
polisi. Rina, ayahnya seorang pedagang yang terkenal dan disegani. Sementara
dirinya? Karena malu dengan pekerjaan ayahnya, Andi berniat untuk bolos
sekolah. Sebab jika ia tetap sekolah, bu Guru pasti memaksanya tampil ke depan
untuk menceritakan tentang ayahnya.
Tidak terasa Andi telah
sampai di rumahnya. Setiba di rumah, Andi melihat ayahnya yang sedang
tidur-tiduran karena kelelahan. Andi menatap wajah ayahnya yang mulai keriput.
Tubuh ayah dibalut dengan seragam berwana oranye. “Andaikan saja ayah memiliki
pekerjaan yang hebat, pasti aku tidak akan malu pada teman-teman” ucap Andi
dalam hati sambil meletakkan tasnya yang sudah lusuh dan bolong-bolong. Andi
seolah menyesal memiliki ayah seperti ayahnya.
Ketika Andi selesai
mengganti seragamnya, ayahnya terbangun.
“Sudah pulang Andi?”
“Sudah Yah!”
“Sana makan dulu. Ayah
beliin ayam goreng untukmu”
Mendengar ayam goreng,
air liur Andi menetes. Sudah lama ia tidak memakan ayam goreng karena kata ayah
harganya mahal. Andi hanya sering makan telur dan mie instan. Namun kali ini
sungguh kejutan baginya. Tanpa menunggu waktu lagi, Andi segera makan dengan
lahap. Sementata ayah Andi terus memperhatikan putra kesayangannya.
“Ayah tidak makan?”
“Ayah sudah makan” jawab
Ayahnya. Andi terus melanjutkan suapannya. Ia tidak tahu kalau ayahnya cuma
makan dengan cabe goreng dan kerupuk. Melihat Andi bahagia dengan makanan
lezat, ayahnya ikut bahagia.
Setelah makan, Andi
menerima kejutan lagi. Ayah menyodorkan sebuah bungkusan dalam plastik hitam.
Buru-buru Andi membukanya. Sebuah tas
baru yang selama ini ia impikan. Andi tahu harganya cukup mahal. Tiga bulan yang
lalu Andi merengek minta dibelikan tas. Ayahnya bilang belum punya uang.
Lama-lama Andi telah melupakan keinginannya itu. Namun ternyata ayah selalu
ingat pada permintaannya. Andi tidak tahu, demi membeli tas itu Ayah rela
disuruh-suruh mengerjakan tugas tambahan agar diberi upah lebih. Andi tidak
tahu demi membelikan tas itu ayahnya rela tidak jajan padahal aroma sate,
bakso, soto, dan es teller dijalanan begitu menggoda selera ayahnya saat
kelelehan di sela-sela pekerjaannya. Namun demi mengumpulkann uang sedikit demi
sedikit untuk membeli tas itu ayahnya rela berkorban. Bagi ayah kebahagiaan
Andi lebih penting.
Andi memeluk tas itu
sambil memandangi ayahnya. Tas yang dibelikan ayah sama kerennya dengan tas
Rudi yang anak seorang guru matematika. Bahkan tidak kalah bagus dengan tas
Anggi anak seorang polisi. Seketika Andi merasa sangat bersalah karena telah
malu memiliki ayah seperti ayahnya. Padahal lihatlah, wajah tulus yang mulai
keriput itu sangat mencintainya. Wajah bersahaja itu rela berpanas-panas dan
berlelah-lelah untuk dirinya.
“Terima kasih ya Yah”, ucap Andi dengan suara
terisak. Matanya berkaca-kaca.
“Iya Nak! Rajin-rajin
belajar ya. Ayah sudah susah payah mengumpulkan uang untuk membelikanmu tas
baru. Kamu harus membalasnya dengan nilai-nilai yang bagus”, ucap Ayah kepada
Andi.
“Baik Yah. Andi akan
belajar dengan sungguh-sungguh”, kata Andi kepada ayahnya. Andi mengubah cara
pandangnya. Mengapa mesti malu dengan pekerjaan ayah sendiri? Bukankah
pekerjaan ayahnya halal? Apapun pekerjaan ayah kita, beliaulah orang yang
paling tulus membanting tulang untuk kebahagiaan anak-anaknya. Sehebat apapun
pekerjaan ayah orang lain, mereka tidak memberikan apa-apa untuk kita. Cinta
kasih seorang ayah adalah segalanya. Beliau rela bekerja keras, demi buah
hatinya. Andi sesegukan menahan isak tangis karena penyesalannya. Mulai detik
ini, ia tidak akan malu lagi kepada siapa pun. Ia bangga kepada ayahnya. Ia
memiliki seorang ayah yang hebat dan penuh cinta.
***
Dua hari kemudian, Andi
berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Ia tidak sabar untuk menceritakan
pekerjaan ayahnya di depan kelas. Saat yang dinantikan pun tiba. Bu guru
kembali mempersilahkan siswa untuk maju ke depan kelas. Dengan cepat Andi
mengangkat tangannya.
“Saya Bu!”, seru Andi.
“Baiklah Andi, silahkan
maju ke depan”
Andi melangkah ke depan
kelas. Ia menatap seluruh teman-temannya. Ia membiarkan suasana hening sejenak
agar teman-temannya memperhatikannya. Beberapa saat kemudian Andi memulai
ceritanya dengan suara lantang,
“Ayahku seorang penyapu
jalanan. Tapi Aku tidak malu memiliki ayah seperti itu. Berkat ayah, jalanan
menjadi bersih dan indah. Sampah-sampah tidak lagi berserakan. Dengan demikian
lingkungan pun menjadi sehat. Ayah tidak pernah mengeluh. Setiap hari ia
bekerja dan berjuang demi aku dan keluargaku. Yang penting sekali, ayahku
memiliki cinta yang begitu besar untukku. Kasih sayangnya tak terhitung dan
selalu tumbuh seperti tunas-tunas dedaunan yang semakin hari semakin subur di
sepanjang jalan. Cinta ayah seperti pepohonan yang terus tumbuh menjulang, semakin
tinggi, dan mengakar kuat. Aku…sayang dan bangga pada ayahku”, tutur Andi di depan
kelas.
Begitu Andi selesai
bercerita, semua temannya bertepuk tangan dengan keras. Mata mereka
berkaca-kaca mendengar cerita Andi. Bu guru pun menyeka matanya yang basah
karena terharu oleh cerita Andi.
***
Artikel Terkait:
0 komentar: