Ibu, seminggu berbaring
di rumah sakit M.Djamil Padang ini membuatku sangat menderita. Kapankah
berakhirnya penderitaanku ini, Bu? Mungkinkah Tuhan marah kepadaku karena kedurhakaanku
selama ini padamu? Namun mengapa engkau tetap menyanyangiku, Bu?
Lihatlah, wajah rentamu
masih khusyuk bersujud kepada Allah. Di atas sajadah lusuh yang terbentang,
engkau berdoa sangat lama. Kulihat wajahmu sendu, memelas kepada Allah dengan
mata yang berkaca-kaca. Apakah engkau mendoakan kesembuhanku, Ibu? Oh Tuhan,
lihatlah perempuan itu sangat mencintai aku, meskipun kedurhakanku sudah tidak
terkira banyaknya.
Selama ini aku telah
menyia-nyiakanmu Bu. Di rumah kita, di Sungailingkuang, sering kubiarkan engkau
merajut sepi seorang diri. Sejak Ayah meninggal dan Martini kuliah di
Universitas Negeri Padang, engkau kerap menikmati hari sendiri di rumah. Aku
anak yang tak tahu diri ini lebih suka pergi ke lapau, bercengkerama dengan
pemuda-pemuda pengangguran lainnya di lapau Simpangrajang. Lalu kami tertawa.
Menertawakan nasib sendiri dan mencemoohkan nasib orang lain. Kami memesan
segelas kopi dan duduk seharian menghabiskan waktu, sambil melihat orang-orang
yang berlalu lalang di jalanan. Semua yang lewat kami komentari dan kami
jadikan bahan tertawaan. Jika ada gadis manis yang pulang sekolah, kami goda
mereka hingga wajahnya tersipu malu. Jika kami melihat warga desa yang memakai
motor baru, kami cemoohkan orang itu. Kami katakan bahwa ia pasti menambah
hutangnya di Bank. Selain itu, kami juga suka mencari-cari kesalahan para
pejabat. Mulai dari datuak, pejabat
nagari, bupati, sampai menteri. Presiden pun tak luput dari hinaan kami. Kami
mengatakan bahwa tak ada pejabat yang benar di negeri ini. Mereka tidak
memedulikan nasib rakyat kecil. Mereka sibuk korupsi. Padahal kami sendiri
hanya duduk-duduk dari pagi. Bagaimana nasib kami akan berubah, iya kan Bu?
Kami hanya bisa menyalahkan orang lain atas nasib buruk yang menimpa kami yang
disebabkan oleh kemalasan kami sendiri.
Malamnya aku dan
teman-temanku yang lain berjudi sampai larut. Seringkali aku tidur di lapau
itu. Dan engkau Bu? Engkau kubiarkan sendiri di rumah. Aku tahu engkau tidak
akan takut. Engkau adalah perempuan bagak
meskipun usiamu sudah renta. Engkau tak kan gentar bila bertemu harimau dan
babi hutan saat hendak pergi ke sumur yang letaknya duapuluh meter dari rumah
kita. Engkau juga tak akan takut dengan gelap rumah kita yang belum tersentuh
aliran listrik. Dari kecil aku tak pernah melihatmu takut, Bu. Namun engkau
pasti kesepian kan, Bu? Bagimu rasa sepi
itu lebih menyeramkan daripada auman harimau yang suka berkeliaran di sekitar
gubuk kita yang dikelilingi rimba raya.
Dosaku berikutnya
kepadamu, adalah aku sering mencuri uangmu yang kau simpan di balik kasur atau
di dalam bantal. Kupakai uang itu untuk berjudi. Padahal uang itu engkau
kumpulkan dengan bersusah payah untuk Martini yang sedang kuliah di UNP.
Jika engkau mulai marah,
kukatakan bahwa akan kuganti dua kali lipat apabila aku menang berjudi. Namun
engkau berkata tak akan sudi menerima uang haram itu. Biarlah tidak makan
daripada di dalam darahmu mengalir uang haram, ucapmu padaku. Berkali-kali juga
engkau menasihatiku agar tidak berjudi lagi. Tapi aku sepertinya sudah bebal, Bu.
Hatiku tertutup untuk menerima nasihat-nasihatmu itu. Engkau pun sangat nyinyir
untuk menyuruhku salat. Engkau katakan bahwa salat adalah ibadah yang pertama
kali ditanyakan Tuhan di akhirat kelak. Akan tetapi aku tak peduli semua itu.
Hatiku benar-benar terkunci. Mungkin karena terlalu banyak maksiat yang menodai
hatiku, Bu.
Ah Ibu, tak ada yang
mampu menggantikan kasih sayangmu, meskipun anakmu sedurhaka ini kepada Tuhan
juga kepadamu. Engkau marah kepada tingkah lakuku, namun kelembutanmu sebagai
seorang ibu tak dapat membunuh rasa cinta terhadap darah dagingmu sendiri. Maka
setiap hari selalu engkau tanakkan nasi untukku. Ketika matahari hampir di atas
kepala, aku pulang dari lapau. Aku segera mencari-cari nasi dan lauk yang engkau
masak pagi itu. Dan aku selalu senang mendapati nasi hangat yang engkau masak
dalam periuk besi di tungku kayu. Aromanya wangi sekali. Beras itu engkau masak
dari hasil sawah kita sendiri. Ibu, aku suka nasi yang ditanak dengan periuk di
atas tungku kayu. Rasanya lebih enak, Bu.
Belum lagi ketika
melihat lauk dan sambal yang engkau masak saban pagi. Membuat rasa laparku semakin
menjadi. Semua yang engkau masak terasa enak di lidahku. Kadang engkau membuat
goreng ikan puyu dicampur jengkol. Sesekali engkau suguhkan uwok patai dengan sambalado hijau
bercampur ikan teri. Lain waktu engkau hidangkan gulai pakis dengan cabe rawit
yang banyak, dicampur udang yang engkau tangkap sendiri di sungai. Rasanya enak
sekali. Aku juga suka anyang kacang
panjang dan kangkung yang Ibu buat. Daun labu yang direbus dengan santan tanpa
diberi cabe juga sangat enak bagiku. Apapun yang Ibu buat tetap enak. Ah, aku
lupa, satu lagi masakan favoritku. Telur itik yang didadar dan dimakan bersama
sambalado. Enak sekali, Bu. Aku selalu batambuah setiap memakan masakanmu.
Setelah aku kenyang, apa
yang kulakukan Bu? Aku bukannya membantumu yang berpanas-panasan di sawah atau
mengembalakan kerbau kita yang jumlahnya tiga ekor. Atau memungut kelapa-kelapa
yang berjatuhan di parak kelapa kita. Aku kembali ke lapau dan menghabiskan
hari di sana dengan cerita-cerita tak berguna. Jika aku ingin uang untuk
membeli rokok dan kopi, aku tinggal memintanya padamu. Bukankah engkau memiliki
simpanan uang dari penjualan telur itik kita, kelapa-kelapa kita, dan padi-padi
kita? Jika engkau tidak memberiku uang, aku akan mengamuk dan menghardikmu.
Daripada melihatku
marah-marah, engkau pun memberikan sejumlah uang yang kupinta, tanpa kupedulikan
perihnya hatimu melihat tingkahku itu. Puncak kedurhakaanku adalah ketika
kujual perhiasan emasmu demi memenuhi nafsu berjudiku. Ketika itu engkau
benar-benar murka, sebab uang itu akan digunakan untuk membiayai uang semester
Martini. Tapi peduli apa aku? Aku sudah kalap oleh nafsuku.
Ibu, wajar saja Tuhan
marah melihat tingkah lakuku yang selalu menyakiti perasaanmu. Malam itu semua
uang hasil penjualan cincinmu habis di meja judi. Aku marah, aku ingin
memenangkan perjudian itu agar uangku kembali. Namun aku tahu uangmu sudah
habis. Tak mungkin aku mengambil uang di rumah. Maka malam itu aku berniat
mencuri di Tiku, di ibukota kecamatan kita. Aku meminjam motor buntut temanku.
Aku sudah mengincar sebuah toko emas yang terletak di pasar Tiku.
Namun Tuhan menggagalkan
rencanaku, Bu. Malam itu di bengkolan Sungai Nibuang aku terjatuh. Sialnya
sebuah truk yang melaju kencang tidak melihatku yang sedang tergolek di aspal.
Truk itu menggilas kakiku. Argh, sakit sekali Bu. Rasanya aku mau mati malam
itu.
***
Kembali kutatap wajahmu
yang khusyu merapalkan doa kepada Allah. Apakah engkau sedang mendoakan anakmu
yang tak tahu diri ini, Bu? Mengapa engkau membawaku ke rumah sakit ini? Bu,
engkau masih saja mencintaiku meskipun kedurhakaanku telah menggores luka dan
perih di hatimu. Bu, kakiku sakit sekali. Kata dokter harus segera diamputasi.
Darimana uang kita dapatkan untuk biaya operasiku? Jangan jual kerbau kita Bu,
Martini akan membutuhkannya nanti untuk biaya praktek lapangan dan wisudanya.
“Bu…”, seruku lirih
begitu kulihat engkau melipat sajadah.
“Kenapa Buyuang? Kaki Waang sakit lagi? Sabar ya, besok engkau
akan dioperasi”, ucap Ibu dengan wajahnya yang lembut. Tampak sekali wajah itu
memancarkan rasa kasihan melihat kondisiku.
“Bu, tidak usah obati
aku. Kutuk saja aku jadi batu, Bu. Itu kutukan yang pantas untuk anak durhaka,
seperti yang dilakukan oleh ibu Malinkundang. Dengan begitu aku tidak akan lagi
merasakan sakit dan Ibu tidak bersusah payah mengeluarkan uang untuk biaya
pengobatanku”
Ibu menghampiriku dan
mengusap rambutku. Duhai Ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakan belaian
tanganmu. Aku teringat masa kecilku dulu, saat Ibu selalu mengusap kepalaku ketika
aku hendak tidur. Lembut tanganmu mengalirkan cinta dari tulus hatimu. Ibu,
telah lama sekali aku menyia-nyiakanmu, Bu. Melupakan lembut kasihmu padaku.
“Kau bicara apa,
Buyuang? Ibu bukanlah ibu Malinkundang yang tega mengutuk anaknya menjadi batu.
Namun Ibu akan senantiasa mendoakanmu agar engkau kembali ke jalan yang benar.
Bukankah doa seorang ibu itu makbul, Nak? Jika Allah mengabulkan doa ibu Malin
saat mengutuknya jadi batu, berarti Allah juga mengabulkan doa Ibu yang
menginginkan engkau menjadi anak yang baik. Berjalan di jalan yang lurus.”
Mataku berkabut
mendengar ucapan Ibu. Sungguh kasih sayang Ibu tak pernah pudar dan menepi.
Cintanya selalu memelukku dalam setiap doa-doanya. Ibu tidak pernah mendoakan
keburukan untukku. Ibu tidak mengutukku menjadi batu. Namun Ibu mendoakan agar
anaknya yang durhaka ini kembali ke jalan yang benar.
“Ibu, maafkan aku atas
dosa-dosaku selama ini”, aku meraih tangan keriput Ibu dan menciuminya. Air
mata yang hangat menetes di punggung tangan Ibu. Hari itu aku menangis
menyaksikan ketulusan cinta seorang Ibu yang tak pernah habis. Aku menangis
menyesali dosa dan kedurhakaanku padanya. Dan perempuan renta di hadapanku itu pun
tak kuasa menahan bola-bola kristal yang sejak tadi mengendap di matanya. Ya
Allah ijinkan aku sembuh agar kutebus kesalahan dan kuobati luka dihatinya. Aku
mencintaimu,Ibu!
***
Karya original Ridha Sri Wahyuni
Artikel Terkait:
0 komentar: