• Sweet Home

    Cerpen Ridha Sri Wahyuni

    Seperti biasa, setiap pagi Naira membersihkan rumahnya. Ia menyapu lantai, mengepel, dan mengelap debu-debu yang menempel di kaca dan sofa. Halaman rumahnya juga dibersihkannya dari sampah dan dedaunan yang berguguran. Sekejap, rumah Naira menjadi bersih dan indah dipandang.
    Namun hati Naira tidak pernah puas memandangi setiap sudut di rumahnya, meskipun menurut ukuran masyarakat di desanya, rumah Naira sudah tergolong bagus dan cukup besar.
    Naira menginginkan lebih. Sebuah rumah bak istana. Ia sering meminta pada ibunya untuk merenovasi rumah mereka. Naira menginginkan rumahnya diubah mengikuti gaya rumah modern saat ini dengan fasilitas lengkap. Rumah yang memiliki pendingin ruangan, kolam renang, dapur beserta perlengkapan masak yang modern, kamar mandi yang dilengkapi dengan bath tub dan shower dengan air hangat, dan berbagai properti lainnya seperti yang ia lihat di televisi. Naira terlalu banyak menonton infotainment yang menayangkan para selebriti papan atas memamerkan rumah mewah mereka. Naira membayangkan suatu saat bisa memiliki rumah sebagus itu. Rumah seperti hotel bintang lima.
    ***
    Naira terlalu tinggi berangan-angan tanpa melihat keadaan ekonomi keluarganya. Permintaan dibelikan kasur pegas saja sampai saat ini belum mampu dipenuhi oleh ibu Naira. Naira selama ini tidur di kasur kapuk yang telah menipis dan harus rela tidur berdesak-desakan dengan adiknya.
    Naira juga sudah berkali-kali meminta agar cat rumahnya diganti. Menurut Naira cat rumahnya yang sekarang terlalu menyolok dan membuat suasana rumah agak suram di malam hari. Naira ingin warna yang lebih lembut, seperti biru muda atau krem. Akan tetapi ibu belum bisa mengabulkan permintaan itu. Ibu merasa sudah nyaman dengan keadaan rumah yang apa adanya. Ibu lebih suka menggunakan uang untuk keperluan lain. Bagi ibu rumah yang ia tempati sudah lebih dari layak.
    Ya, sebab ibu membandingkannya dengan rumah senyum – rumah bantuan untuk korban gempa 2009 silam – yang banyak dimiliki oleh warga sekitar.
    Seringkali ibu menasihati Naira agar mensyukuri apa yang telah mereka miliki sekarang. Kata ibu, di luar sana ada yang tidur di gubuk reot yang hanya beralaskan tikar. Bahkan ada yang tidur di kolong jembatan karena tidak memiliki rumah. Melihatlah ke bawah agar kita menyadari masih banyak orang yang lebih kurang dari kita, sehingga kita lebih bersyukur, begitu nasihat ibu kepada Naira.
    “Tapi, melihat ke atas akan membuat kita termotivasi untuk lebih maju, Bu,” sanggah Naira. Menurut Naira, jika kita terus melihat ke bawah, kita cepat puas dengan apa yang telah kita raih dan tidak ingin berusaha untuk lebih hebat lagi.
    ***
    Pada musim liburan kali ini, Naira sudah merencanakan pergi ke rumah dua orang temannya di daerah yang berbeda. Perjalanan itu akan menghabiskan waktu selama tiga hari. Dua orang itu adalah teman dekat Naira. Naira baru punya waktu sekarang untuk mengunjungi rumah keduanya.
    Hari pertama, Naira tiba di rumah Erin. Rumah yang membuat Naira terkagum-kagum dan mendadak minder jika ia bandingkan dengan rumahnya sendiri. Rumah Naira bergaya minimalis dengan dua lantai.
    Ruangannya terkesan simple namun elegant. Perabotan di dalamnya bagus dan tentu saja harganya mahal. Mulai dari lampu gantung, korden, sofa, vas bunga, meja makan, sampai ke hiasan dinding. Dapurnya seperti dapur dalam acara masak-memasak oleh cheef terkenal di televisi.
    Kamar Erin sungguh nyaman. Ada air conditioner yang membuat ruangan selalu sejuk, kasur pegas yang empuk, serta kamar mandi seperti yang diimpikan Naira. Naira jatuh cinta pada rumah Erin. Alangkah beruntungnya jika ia yang memiliki rumah sebagus itu, pikirnya.
    “Naira, kamu tidur dulu aja, kan cape setelah perjalanan jauh. Kalau mau mandi dulu juga boleh. Bisa milih mau air hangat atau dingin. Jangan malu-malu ya. Anggap rumah sendiri,” ucap Erin dengan ramah. Naira memang ingin istirahat agar tubuhnya kembali segar. Setelah Erin keluar, Naira segera menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk itu. Suasana yang nyaman membuat Naira tidak butuh waktu lama untuk terlelap.
    ***
    Suasan terasa sepi. Naira tidak mendengar suara siapa-siapa kecuali suara dentingan piring dan mangkok. Naira sudah selesai mandi dengan air hangat yang memancar halus dari shower. Naira benar-benar menikmati momen itu. Ia sengaja mandi berlama-lama untuk memanjakan dirinya. Ketika Naira keluar kamar, ia melihat Erin dan seorang pembantunya yang berusia separuh baya, sedang menyiapkan makan malam.
    Hanya mereka berdua. Rumah sebesar itu terasa sungguh sepi.
    “Papa dan Mama belum pulang?” Tanya Naira.
    “Mereka sering pulang larut, Naira. Katanya banyak tugas di kantor”.
    “Saudara-saudaramu?”
    “Kau lupa ya? Aku anak tunggal”, Erin tertawa sambil menata letak lauk pauk dan sayuran di meja makan.
    “Rumah ini memang selalu sepi, Nai. Hanya aku dan si Mbok yang sering di rumah. Kadang, aku pun lebih banyak menghabiskan waktu di luar, sebab di rumah tidak ada teman. Aku bosan!” tutur Erin.
    Sayang sekali, memiliki rumah bagus dan besar tetapi kesepian, gumam Naira dalam hati.
    “Terkadang aku merindukan suasana seperti di rumahmu, Nai. Rumah yang hangat dengan keluarga yang lengkap. Rumah tempat kamu berbagi, bercerita dan bercanda dengan orangtua, kakak, dan adikmu. Kamu beruntung, Nai”
    “Kamu juga beruntung memiliki rumah yang bagus dan nyaman seperti ini. Apa pun ada. Mau apa semua tersedia. Kurang apa lagi, Erin?”
    “Tapi aku kesepian, Nai. Kamu salah jika mengira aku sudah bahagia dengan semua ini. Kebahagiaanku tidak sempurna, Nai. Kamu tahu tidak, bahagia itu jika kamu selalu berkumpul dengan orang-orang yamg kamu cintai, meskipun hanya di sebuah gubuk”
    Naira jadi bingung sendiri mendengar curahan hati Erin. Ia pikir dengan semua yang dimiliki Erin, dengan rumah mewah dan fasilitas lengkap seperti ini, Erin telah menjadi orang yang paling bahagia. Ternyata tidak. Erin tidak memiliki kehangatan dan kebersamaan dengan keluarganya. Naira tahu, kebersamaan yang penuh cinta itu tidak bisa dibeli. Jadi lebih beruntungkah ia daripada Erin?
    ***
    Hari berikutnya Naira mengunjungi rumah Santi yang terletak di sebuah desa yang agak terpelosok. Rumah Santi sungguh berbanding terbalik dengan rumah Erin. Rumah yang jauh lebih sederhana dari rumah Naira sendiri.
    Naira tidak pernah membayangkan sebelumnya jika Santi tinggal di rumah yang lebih mirip gubuk ini. Rumah berlantai papan  dengan satu kamar dan kamar mandi yang terpisah beberapa meter dari rumahnya. Dapurnya berlantai tanah dan di kolong rumah itu ibu Santi memelihara ayam-ayam. Naira berkali-kali bersin oleh aroma kandang ayam yang penuh kotoran itu.
    Santi memiliki lima orang adik yang jaraknya rapat. Kalau tidur, mereka akan bersusun-susun seperti lepat di lantai papan yang beralaskan tikar pandan. Jauh dari kata nyaman. Namun mereka tampak begitu bahagia.
    “Beginilah keadaan rumah kami, Naira. Mungkin tidak ada apa-apanya dibanding rumah kamu. Namun bagi kami, yang penting kami bisa berlindung dari panas, hujan, dan binatang buas”.
    Binatang buas?
    Santi bercerita kalau sesekali harimau pernah muncul dari balik rimba yang tumbuh di sekitar rumahnya. Mendengar itu Naira mengurungkan niatnya untuk bermalam di rumah Santi. Ia ingin cepat-cepat pulang. Ia tidak ingin di rumah Santi ini ia akan mengalami pengalaman pertama bertatap muka dengan si raja hutan itu. Naira bergidik ngeri.
    ***
    Di dalam bus, sepanjang perjalanan pulang, Naira tak henti memikirkan dua keadaan yang begitu kontras yang baru saja dilihatnya. Erin dengan rumah besar dan mewah namun kesepian dan Santi yang begitu bersyukur dengan keadaan rumahnya yang demikian sederhana. Saat melihat rumah Erin, Naira memang merasa rumahnya jauh ketinggalan. Sebaliknya, ketika melihat rumah Santi, Naira merasa betapa bersyukurnya ia memiliki rumahnya sekarang. Kalaupun harus memilih, tinggal di rumah mewah seperti Erin namun tidak memiliki saudara dan jarang berkumpul dengan orangtua, Naira akan memilih kehidupannya yang sekarang. Meski rumahnya sederhana, ia memiliki harta terindah yang tidak dapat digantikan oleh kemewahan apa pun. Yaitu keluarga dan cinta. Naira memiliki banyak waktu untuk bercengkerama dengan ayah dan ibunya, dua orang kakaknya dan dua orang adiknya. Mereka membuat suasana rumah selalu semarak.
    Naira menyadari kekeliruannya. Naira membenarkan ucapan ibunya beberapa waktu lalu, bahwa melihatlah ke bawah dalam urusan dunia agar kita lebih bersyukur dengan pemberian Tuhan kepada kita. Tiba-tiba ia merasa begitu rindu dengan rumahnya sendiri. Rumah tempat kelahirannya. Rumah yang membuatnya nyaman dan bebas. Rumah yang hangat dan penuh cinta. Rumah yang selama ini adalah surga baginya.
    ***
    Naira memasuki istananya. Rasa syukur dan bahagia menyelimuti hatinya. Ia berjanji tidak akan menuntut macam-macam lagi kepada ibu; kasur pegas yang empuk, cat rumah yang diganti, dapur yang harus dikeramik, dan kamar mandi modern. Di ruang tengah, Naira melihat seluruh anggota keluarganya berkumpul. Mereka menyambut hangat kedatangan Naira. Mereka itulah alasan yang membuat Naira selalu rindu pada rumah. Sebuah kehangatan dalam kebersamaan yang penuh cinta dan kasih sayang. Ternyata bahagia itu terletak di hati, bukan pada harta melimpah. Bukan pada rumah mewah. Bahagia itu, Sederhana. Lantas mengapa harus mengejar kesempurnaan jika kita bisa bahagia dengan kesederhanaan?
    ***

    (Cacang Tinggi, Februari 2014 di rumahku tercinta)


    Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar