Cerpen Remaja
Oleh : Ridha Sri Wahyuni
Hujan lebat. Petir kilat datang silih
berganti. Suasana senja begitu mencekam. Aku menatap hujan dengan perasaan
cemas. Bukan, bukan aku takut dengan gelegar petir yang membahana, yang
diiringi kilat berwarna putih seperti lampu blitz kamera. Beberapa minggu
belakangan kami telah terbiasa dengan hujan seperti ini. Sebab, ini memang
puncaknya musim hujan. Hampir setiap hari hujan turun. Kadang pagi-pagi sekali.
Jika pagi cerah, sore atau malamnya pasti hujan akan turun. Aku tidak
mencemaskan hujan yang turun begitu lebat, tetapi aku mencemaskan ibu yang
belum juga tiba di rumah. Hp ibu
tidak aktif, mungkinkah baterainya habis? Aku sungguh khawatir, apalagi pagi
tadi sebelum ibu berangkat, aku tidak mau menjawab salam ibu saat akan pergi.
“Nando, ibu pergi dulu
ya, hati-hati di rumah. Ibu akan balik sore nanti. Assalamualaikum”
Aku tidak menanggapi
sedikit pun ucapan ibu, malahan aku menarik selimut hingga menutupi wajahku.
Ibu sesungguhnya tahu aku hanya pura-pura tidur.
“Kamu masih marah sama
ibu? Ini semua demi kebaikanmu. Suatu saat kamu akan paham, Nando”
Aku masih ngambek di
balik selimut, kemudian membiarkan ibu pergi sendiri ke gerbang rumah, menuju
pinggir jalan, menanti travel yang akan membawanya ke Bukittinggi untuk sebuah
urusan.
***
“Pokoknya aku ingin
motor gede itu, Bu! Ibu harus membelikannya untukku. Aku malu sama teman-teman
yang punya motor bagus. Bukannya skuter
matic seperti ini. Teman-teman menertawakanku, bahwa motorku ini motor
untuk perempuan, Bu!” ucapku malam itu dengan suara keras.
“Bukannya dulu kamu yang
memilih motor model begitu? Bahkan ibu sudah menyarankan agar kamu membeli
motor yang bergigi saja. Kamu bilang ini yang lagi trend sekarang. Lantas mengapa jadi menyalahkan ibu?” Ibu masih
teguh, tidak ingin mengabulkan permintaanku.
“Aku menyesal Bu. Aku
ingin menjual motor ini dan menggantinya dengan yang baru. Aku juga ingin punya
motor bagus seperti teman-temanku, Kawasaki
Ninja, Tiger, atau Vixion”
“Uang darimana Nando? Utang
motor yang ini saja belum lunas. Kamu jangan tambah lagi beban pikiran Ibu.
Utang ibu sudah numpuk. Lagian kalau kamu memakai motor-motor seperti itu,
resikonya lebih besar. Rawan kecelakaan. Ibu juga khawatir kamu nanti malah
jadi anggota geng motor yang berandalan itu. Kamu itu masih dua SMA, Nando.
Nggak usah minta macam-macam deh!”
Aku menggerutu kesal.
Ya, aku kesal pada ibu. Mengapa ibu tidak mau menurutkan keinginanku? Padahal
aku tahu sebenarnya ibu memiliki banyak uang. Membelikan motor seperti itu
untukku bukanlah sebuah beban yang berat bagi ibu. Tapi, lihatlah, ibu tidak
mau menuruti keinginanku. Bukankah aku ini anaknya?
“Aku tetap ingin motor
seperti itu, Bu!” Aku menatap ibu dengan sorot mata yang tajam dan suara yang
semakin meninggi. Kuharap kali ini ibu kalah dan mau menuruti keinginanku.
“Tidak! Kalau kau tetap menginginkan
motor itu, beli aja sendiri dengan uangmu sendiri. Biar kamu tahu rasanya bahwa
untuk mendapatkan sesuatu tidak mudah. Mencari uang itu susah” ucap ibu cuek.
Ia sama sekali tidak takut dengan kemarahanku. Malah ibu dengan santainya
menyuruhku membeli dengan uangku sendiri. Uang darimana?
“Kalau ibu tidak mau
mengganti motorku ini, aku tidak mau sekolah lagi. Biarin aku jadi gelandangan
atau preman. Kan ibu sendiri yang akan malu nantinya!”
Tanpa kuduga ibu malah
tertawa mendengar ancamanku itu. Membuatku mengernyitkan kening keheranan.
Biasanya ancaman ini cukup ampuh digunakan para anak agar orangtua mereka
menuruti keinginannya. Tetapi mengapa ibuku berbeda ya?
“Kalau kamu nggak sekolah,
yang rugi kamu sendiri. Mau jadi apa nanti? Emangnya enak jadi preman?
Dikejar-kejar satpol PP, nggak bisa makan enak, nggak punya rumah, terus nggak
ada wanita yang mau jadi istri kamu? Ibu tidak akan malu, ibu sebentar lagi tua
terus mati, dan yang tinggal hidup menderita itu adalah kamu. Kamu akan menyesal
seumur hidup, Nando. Sebaik-baiknya bekal itu adalah ilmu. Silahkan saja kamu
berhenti sekolah, tapi jangan salahkan ibu jika hidupmu nanti morat-marit”
Ibuku memang susah
dipengaruhi. Aku kehabisan akal. Aku tidak akan berhenti sekolah, itu hanya
ancamanku saja. Aku masih bisa berpikir dengan akal sehat, hidup sebagai gelandangan
dan preman itu sama sekali tidak menyenangkan. Aku ingin menjadi orang hebat
dan pintar dengan ilmu yang kumiliki. Namun, aku benar-benar menginginkan motor
itu!
Aku berlalu dari hadapan
ibu, lantas keluar rumah dengan motor maticku.
Mencari angin, menenangkan pikiran. Aku pergi tanpa pamit pada ibu. Dan aku pulang
ke rumah pukul satu dini hari.
Itulah awal perang
dingin aku dengan ibu yang membuatku masih begitu kesal hingga paginya dan
membiarkan ibu pergi begitu saja ke Bukittinggi.
***
Hujan semakin lebat. Gelegar
petir yang membahana sempat menyiutkan nyaliku. Belakangan sumber terjadinya
petir memang dekat dengan rumahku. Tiga hari yang lalu televisi tetangga rusak
karena disambar petir. Aku khawatir jika petir terus-terusan seperti ini bisa
jadi peralatan elektronik di rumahku akan terkena sambarannya. Namun kekhawatiranku
terhadap itu tidak seberapa dibandingkan kekhawatiranku kepada ibu yang belum
juga sampai di rumah. Malam mulai menggantikan senja. Gelap. Ah, lampu pun akhirnya
padam. Sebuah suasana yang paling tidak mengenakkan bagiku. Hujan lebat. Petir
yang menggelegar dahsyat. Dan listrik yang padam. Suasana di rumah terasa
semakin horror. Jika ada ibu, pasti tidak begini ceritanya. Ibu bisa
menghangatkan keadaan meski dingin yang ditimbulkan aroma hujan membuat kulit
gemetar. Ibu dapat menerangkan hati meski listrik padam hingga berjam-jam. Ibu
dapat mendamaikan jiwa meski gelegar petir kerap membuat cemas. Aih, ibu,
betapa sekarang aku merasakan pentingnya kehadiran ibu di rumah ini. Sehari
tidak ada ibu rasanya ada sesuatu yang hilang di rumah ini dan juga di hatiku.
Kemana ibu? Mengapa belum
juga tiba di rumah?
Kucoba menghubungi kembali
nomor hp ibu, berharap sudah aktif.
Namun aku harus menelan kekecewaan itu. Nomor ibu tidak juga aktif. Tuhan, selamatkan
ibuku. Ingin aku menempuh hujan lebat ini, menjemput ibu dengan motorku, akan
tetapi aku tidak tahu keberadaan ibu. Harus kujemut kemana? Bagaimana jika
sekarang ia dalam perjalanan pulang. Tapi dimana?
***
Hujan semakin lebat,
seperti tidak ada celah untuk berhenti. Malam terus saja beranjak, menit demi
menit, hingga jarum pendeknya hinggap diangka Sembilan. Sudah jam Sembilan malam,
gumamku. Kekhawatiranku semakin berlipat. Berbagai pikiran buruk mulai
menggangguku. Medan yang ditempuh ibu, kelok 44, dalam keadaan hujan seperti
ini pasti sangat licin dan berbahaya. Bagaimana jika…? Tidak! Kutepis pikiran
buruk itu. Tetapi bagaimana jika kemungkinan itu memang benar? Bukankah cukup
masuk akal? Kelok 44 itu semakin mengerikan saat hujan lebat seperti ini. Ibu,
cepatlah pulang. Aku berdoa sungguh-sungguh dalam hati. Berdoa dengan rasa
penyesalan yang dalam, dengan setulus hatiku, dengan sepenuh cintaku pada ibu.
Semoga Allah menyelamatkan ibuku.
***
“Ibu…jangan tinggalkan
Nando…maafkan Nando Bu…Ibu, bangun…” pekik tangis tak dapat lagi kutahan ketika
melihat jasad ibu diantarkan dengan ambulan.
“Ya Allah, tidak mungkin
ini terjadi, tidak mungkin ibu pergi. Bu…ibu…jangan tinggalkan Nando Bu…” aku
begitu shock.
“Sabar Nando, sabar…kita
tidak dapat melawan takdir” beberapa orang mencoba menenangkanku. Aku menarik
kain yang menutupi wajah ibu
“Tidaaak…!” wajah itu,
aku tidak sanggup lagi berkata-kata untuk menggambarkan keadaannya.
Tiba-tiba telepon rumah
berbunyi. Dengan langkah lunglai kuangkat telepon itu sambil mengusap-usap
mataku yang baru bangun dari mimpi buruk tentang ibu.
“Halo Nando, ini ibu
Nak! Ibu pakai hp teman, baterai ibu habis. Malam ini ibu menginap di rumah
teman, ibu tidak berani pulang dalam cuaca seperti ini. Ibu pulang besok pagi
ya. Baik-baik di rumah ya!”
“Bu…ibu…” suaraku
terdengar lirih
“Iya…”
“Ibu sehat-sehat aja
kan?”
“Alhamdulillah, ibu
baik-baik saja. Suara kamu kok seperti orang yang mau nangis gitu?” ucap ibu
dari seberang.
Alhamdulillah, aku
menghirup napas lega. Ibu baik-baik saja. Aku bersyukur. Sungguh bersyukur. Aku
teramat takut pada kejadian dalam mimpiku tadi. Tidak, aku tidak ingin kehilangan
ibu. Aku tidak perlu motor, aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin ibu selalu
ada di dekatku.
***
Cacang Tinggi, November
2013
Artikel Terkait:
Ga aktif lagi blognya?
Dulu di flp unp kan?