Kamu masih memandangi selembar foto
usang itu. Di sana kamu melihat dirimu yang masih begitu kecil digendong oleh
seorang lelaki gagah dan tinggi. Kamu tatap lama-lama wajah lelaki dalam foto
tersebut. Dia memiliki beberapa kemiripan denganmu, terutama pada hidung dan
tulang pipinya. Kamu merasakan rindu yang teramat.
Farhan, kamu terlalu gengsi untuk
menangis dan berteriak bahwa kamu mencintai Ayah.
***
Sebulan yang lalu, saat desamu mulai
memasuki musim hujan, kamu pulang dari rantau setelah adik keduamu nyinyir
menyuruhmu pulang. Pulanglah Uda Farhan, ayah sakit dan sangat merindukanmu.
Begitu kata Wita dalam smsnya setelah beberapa kali teleponnya tidak sempat
engkau angkat. Awalnya kamu mengelak dengan alasan sangat sibuk bekerja. Kamu
katakan pada adikmu bahwa kamu akan menutupi seluruh biaya perawatan ayah. Akan
tetapi adik-adikmu tetap menyuruhmu pulang. Ayah sepertinya tidak lama lagi, Uda
Farhan, pulanglah daripada engkau menyesal selamanya, ucap Wita, membujukmu
agar tidak ada lagi alasan untuk menolak permintaan tersebut.
Dengan rasa terpaksa kamupun memutuskan
pulang. Sebenarnya hatimu sangat berat untuk meninggalkan proyek yang sedang
berjalan. Dan kamu tidak yakin bahwa ayah benar-benar mengharapkan kehadiranmu.
Kamu adalah anak laki-laki satu-satunya
di keluargamu. Empat orang saudaramu yang lain semuanya perempuan. Dari kecil
sebenarnya kamu sudah menyimpan dendam kepada ayah. Bahkan kamu pernah
berpikiran bahwa kamu adalah anak pungut atau anak hasil perselingkuhan ibu
dengan lelaki lain. Pikiranmu itu sangat keterlaluan, sebab ibumu adalah
perempuan suci yang sangat menjaga harga diri dan kehormatannya. Namun pikiran
itu muncul lantaran sikap ayah yang sangat berbeda kepadamu dibandingkan kepada
saudara-saudaramu yang lain. Engkau sering dimarahi ayah ketika kecil. Seperti
saat kamu mandi-mandi di sungai bersama teman-temanmu hingga tak sadar hari
telah senja dan kamu lupa pada sapi-sapi yang engkau gembalakan sejak pulang
sekolah. Wajahmu pucat menyadari kelalaianmu. Kamu berlarian mencari sapi-sapimu.
Namun kamu tidak menemukan satu ekor lagi. Kamu terus mencari ke sekeliling
kampung, menyibaki seluruh semak hingga ke pinggiran hutan. Sapi tersebut tetap
saja tidak bertemu. Kamu pulang dengan tubuh yang lunglai dan penuh rasa takut.
Dan setelah kamu menceritakan kejadian tersebut kepada ayah, ayahmu begitu
marah. Ia melecutmu dengan rotan, berkali-kali, hingga punggungmu memerah. Kamu
meringis, minta ampun, menahan perih yang teramat.Sejak itu kebencianmu kepada ayah semakin menjadi.
Kamu berubah menjadi pemberontak. Kamu
tidak ingin seorang pun menginjak-injak harga dirimu, termasuk ayahmu sendiri.
Kamu sengaja membuat ulah yang memancing kemarahan ayah. Kamu tawuran di
sekolah sehingga ayahmu dipanggil ke sekolah. Ayah memarahimu habis-habisan.
Anak tidak tahu diri, disuruh belajar malah berkelahi, mau jadi apa engkau
nanti? Seru ayah dengan suara menggelegar dan muka yang memerah. Kamu tidak
menjawab. Kamu memperlihatkan perlawananmu. Engkau tantang wajah ayah dengan
hati yang menggelegak. Jika ibu tidak segera datang, sebuah tamparan pasti
sudah melayang di wajahmu.
Suatu hari kamu sengaja menyulut rokok
di rumah, agar tampak oleh ayah. Melihat semua itu betapa marahnya ayah
kepadamu. Kalau engkau masih merokok, tidak usah tinggal di rumah ini, seru
ayah kepadamu. Setelah ayah berkata seperti itu, kamu mencampakkan rokokmu di
hadapan ayah kemudian pergi ke luar.
Kamu sangat benci melihat adik-adik
perempuanmu yang diperlakukan ayah dengan begitu lembut. Berbeda sekali dengan
sikapnya padamu. Bahkan saudara-saudaramu itu sering bermanja-manja kepada
ayah. Ayahmu, meskipun seorang kuli bangunan, akan berusaha mati-matian untuk
memenuhi permintaan adik-adikmu. Hal itu membuatmu begitu sakit hati. Bagimu
ayah tidak adil. Ayahmu pilih kasih. Kamu membenci adik-adik perempuanmu. Saat ayah tidak ada di rumah, kamu
melampiaskan rasa sakit hatimu itu dengan mengganggu adik-adikmu. Kamu membuat
mereka menangis. Jika mereka menangis, kamu pun tertawa. Kamu sering mengambil
uang jajan mereka, mencubit dan memukul mereka, merebut makanan mereka, bahkan
merobek buku tulis mereka. Mereka pun menganggapmu kakak yang jahat. Jika ayah
sudah pulang, adik-adikmu itu langsung mengadu kepada ayah bahwa kamu telah
mengganggu mereka. Ayahmu tidak segan-segan melecutmu dengan ikat pinggangnya
yang besar dan kasar. Kamu meringis kesakitan, namun kamu tetap mengancam
adik-adikmu bahwa mereka akan mendapat perlakuan yang lebih kejam darimu karena
telah mengadu kepada ayah. Adik-adikmu terlihat pucat.
Saat engkau SMK, kamu belajar bela
diri. Niatmu adalah ingin membalas perlakuan ayah padamu. Niat tersebut
benar-benar engkau lakukan ketika sore
itu ayah marah besar kepadamu lantaran kamu mencuri uang lima puluh ribu dari
dompetnya. Kamu sengaja melakukan itu untuk memancing kemarahan ayah. Saat ayah
ingin menamparmu, kamu menangkis serangan ayah. Kamu dan ayahmu berkelahi di
halaman rumah. Tidak engkau sangka ayah ternyata memiliki jurus bela diri yang
lebih hebat darimu. Kamu kewalahan. Akhirnya kamu terjatuh di tangan ayah.
Dalam hati kamu sedikit kagum sekaligus menyimpan dendam yang berapi-api. Kamu
lebih giat berlatih bela diri untuk mengalahkan ayahmu.
Setelah tamat SMK, ibumu meninggal.
Sejak itu kehidupanmu semakin sulit. Ayah tidak ingin lagi memberimu biaya
hidup. Kamu terpaksa berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhanmu. Kamu semakin
membenci ayahmu sehingga kamu pergi merantau ke Kalimantan. Kamu pun tidak
pernah lagi pulang hingga berita ayah yang sakit tersebut memaksamu untuk
pulang kampung.
***
Kamu lihat ayahmu terbaring tak
berdaya. Tubuh gagah dan kekar dulu kini tidak ada lagi. Hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Kata dokter ayahmu kanker paru-paru stadium akhir. Adik-adikmu
membisikkan padamu bahwa harapan ayah untuk bertahan sangat tipis.
Namun saat kamu melihat keadaan ayahmu
itu, tidak ada rasa iba sedikitpun muncul dari hatimu. Justru kenangan-kenangan
tentang kekejaman ayah kepadamu menari-nari di matamu. Kamu masih menyimpan
dendam tersebut. Hingga kamu pun berkata kepada adikmu, “Aku tidak akan sedih
jika ayah meninggal. Ayah cilako
kepadaku”
Wita menangis mendengar ucapanmu. Ia
menarik tanganmu keluar dari kamar perawatan ayah. Ia memandangimu dengan
tulus. Engkau jadi merasa bersalah. Wita sesegukan. “Uda, engkau tidak tahu
rahasia Ayah”
Kamu tercengang mendengar ucapan Wita.
Rahasia apa. Kamu bertanya-tanya.
“Ayah sangat menyayangimu, Uda” lanjut Wita.
Kamu terdiam mendengar ucapan itu.
Tidak, tidak mungkin! ayah sangat membenciku. Dari kecil ia selalu berlaku
keras padaku. Tidak seperti kepada kalian. Setamat SMK, ayah tidak lagi
mengacuhkanku. Aku terombang-ambing sendirian mencari biaya hidup. Ayah tidak
peduli betapa kerasnya perjuangan yang harus kuhadapi. Itu yang namanya sayang?
“Itu karena engkau anak laki-laki, Uda!
Anak laki-laki yang pertama! Seminggu yang lalu ayah bercerita kepada kami.
Ayah menangis. Itu untuk pertama kalinya kami melihat ayah yang selalu tegar
dan kuat meneteskan air matanya. Beliau mengatakan sangat merindukanmu. Beliau
ingin minta maaf atas perlakuannya pada Uda sejak kecil. Ayah menyadari
kesalahannya tidak bisa mendidik Uda dengan lemah lembut. Tapi kau harus paham
Uda, itu cara ayah menunjukkan cintanya padamu. Engkau anak laki-laki. Ayah
ingin engkau menjadi anak yang kuat, mandiri, tegas, dan bisa melawan semua
badai tantangan. Ayah tidak ingin Uda hidup sepertinya, menjadi kuli, dengan
kerja yang berat namun upah sedikit. Ayah juga bilang, ia bangga saat Uda
melawannya berkelahi. Ayah baru tahu kalau Uda ikut bela diri. Setidaknya itu
bisa jadi modal Uda mempertahankan diri kelak jika Uda hidup di negeri orang
dan diganggu orang jahat. Hidup ini keras, Uda! Ayah telah merasakan semua itu.
Karena itu ia mendidikmu agar menjadi lelaki kuat, tidak manja, tidak lembek.
Kau paham Uda? Saat ini ayah begitu bangga padamu, karena engkau telah sukses.
Engkau telah bisa mandiri sejak tamat SMK. Itu yang diinginkan Ayah, Uda…ah,
picik sekali jika engkau tidak dapat menangkap maksud ayah selama ini”
Kamu terdiam begitu lama setelah
mendengar penuturan Wita. Kamu pura-pura hendak ke WC. Padahal kamu tidak ingin
menampakkan matamu yang sudah memerah. Kamu menahan hati. Kamu menahan tangis.
***
Di saat adik-adikmu telah tertidur,
kamu menghampiri tempat pembaringan ayah. Kamu amati dalam-dalam wajah ayah
yang telah kurus dan pucat. Kamu genggam tangan ayah yang lunak dan kerempeng.
Kamu tak kuasa menahan haru hingga air matamu jatuh ke kulit tangan ayah. Ayah
membuka mata. Matanya seolah berbicara padamu. Kamu paham apa yang dibicarakan
ayah. Kamu mengangguk-angguk. Ayah tersenyum padamu. Setelah itu ayah tertidur
lagi. Tidur yang panjang.
***
Kamu masih memandangi selembar foto
usang itu. Di sana kamu melihat dirimu yang masih begitu kecil digendong oleh
seorang lelaki gagah dan tinggi. Kamu tatap lama-lama wajah lelaki dalam foto
tersebut. Dia memiliki beberapa kemiripan denganmu, terutama pada hidung dan
tulang pipinya. Kamu merasakan rindu dan sayang yang teramat. lelaki itu
engkau panggi l "Ayah"
***
TAMAT
(CacangTinggi, Oktober dini hari)
Artikel Terkait:
0 komentar: