• Cerpen

    Cerpen

    “Jika ada yang ingin engkau ceritakan, ceritakanlah padaku. Aku akan selalu ada jika engkau butuh, Vika. Kita adalah sahabat, persahabatan yang selalu kujaga sejak SMA. Persahabatan yang tidak akan  retak karena dibangun atas dasar cinta kepada Allah” Naziva menatapku dengan lembut. Sore yang basah. Hujan turun alangkah hebatnya. Rintik demi rintik, silih berganti. Tidak ada yang bertahan berada di luar dengan cuaca dingin begitu. Naziva datang ke rumahku. Ia sedang libur semester. Di luar waktu libur, kami hampir tidak pernah bertemu. Kami berjauhan dan memiliki kesibukan masing-masing.

    Pepohonan pisang menari-nari diterpa air hujan. Bunga bougenvil di teras rumahku ikut bergoyang. Naziva sudah bercerita banyak hal padaku. Ia terlihat bahagia, seperti tak punya beban. Hal tersebut jelas terpancar dari wajah teduhnya yang dibalut oleh kerudung merah jambu. Sore itu Naziva memakai kerudung merah jambu. Membuatnya tampak terlihat anggun dan segar. Akan tetapi aku selalu suka dengan semua kerudung yang dipakai Naziva. Ia terlihat cantik dengan kerudung berwarna apa saja.

    Ia pernah bilang padaku bahwa sebenarnya ia sangat menyukai warna hijau, sebab hijau adalah warna surga, katanya memberi alasan. Karena itu tepat di ulangtahunnya yang ke delapan belas, aku memberinya kado sebuah kerudung cantik berwarna hijau, yang kubeli dari uang tabunganku. Ia begitu senang sampai-sampai memelukku tanpa malu di keramaian.

    “Naz, pernahkah engkau merasakan sebuah kekosongan dalam hidupmu?” ucapku, setelah berkali-kali Naziva meyakinkanku bahwa ia tetap sahabat terbaik yang bisa mendengar semua permasalahanku.

    Naziva tersenyum.
    “Kekosongan, hanyalah ketika kita jauh dari Allah. Tidak ada kehampaan jika hati selalu ingat padaNya”, ujar Naziva.

    Hujan semakin lebat. Di mataku hujan hampir saja turun. Betul Naziva, kekosongan itulah yang seringkali kurasakan dalam hidupku. Aku, mungkin telah sering melupakan Tuhan. Aku, tak terhitung kali melalaikan perintahNya. Aku merasa telah begitu jauh dariNya, Naz…

    “Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian, Vik. Dengan rasa hampa yang engkau rasakan itu, engkau akan paham betapa indahnya jika hati selalu mengingat Allah dan jika lisan selalu menyebut namaNya”, lanjut Naziva.

    Kubiarkan setetes hujan jatuh dari mataku. Sore yang semakin basah.  Ada dingin yang mulai menggigit tulang. Ada Naziva yang indah. Lalu ada kehampaan yang sedang kuluuapkan. Sungguh beragam rasa berbaur di sore ini.

    Dulu kami sama-sama bertekad akan senantiasa menutup aurat. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan bersama-sama memperdalam ilmu agama. Nazivalah yang nyinyir mengingatkanku salat tepat waktu, memprotes jika kerudungku terlalu pendek atau terlalu tipis karena katanya rambutku tetap kelihatan, mengingatkanku jika baju yang kupakai terlalu ketat, mengajakku puasa senin kamis, dan banyak lagi. Naziva tidak hanya sahabatku,melainkan juga guruku. Guru terbaikku.

    Kini aku telah berubah. Aku tidak memakai kerudung lagi jika keluar rumah. Aku sering meninggalkan salat, aku bahkan telah berani memasuki pergaulan yang tidak islami. Aku terpengaruh oleh lingkunganku, oleh teman-temanku.

    Awalnya aku merasa semua itu begitu indah. Aku bebas, merdeka.Bisa bergaya model rambut terbaru. Bebas dari gerahnya berkerudung. Memiliki banyak teman lelaki.  Namun lama-lama aku merasa bosan. Aku muak. Aku tidak bahagia. Aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Semakin lama jiwaku semakin hampa.

    Tetapi Naziva tidak pernah menghujat dan mencelaku. Tidak pernah memandangku dengan pandangan merendahkan sedikitpun. Ia tidak berubah, tetap Naziva yang lembut dan menyayangiku sebagai sahabatnya seperti dulu, meskipun aku telah jauh berbeda. Aku dan Naziva kini bagaikan langit dan bumi. Naziva seperti malaikat, sementara aku begitu kotor dan hina.  

    Ia kini di sampingku. Kami bercerita sambil menikmati sore yang diguyur hujan. Naziva dan hujan, sama-sama menyejukkan.

    “Naz, aku ingin kembali seperti dulu…aku ingin seperti kamu Naz, perempuan yang lembut dan Salihah. Selama ini aku salah, telah jauh dari Allah. Padahal denganNya lah hati ini menjadi tenang. Iya kan Naz?”

    Naziva mengangguk terharu. “Mari kita sama-sama membenahi diri, Vika sayang…aku pun masih jauh dari kriteria salihah. Aku masih banyak kekurangan. Karena itu kita harus saling mengingatkan, memperbaiki diri dari hari ke hari. Alhamdulillah, aku senang sekali karena sahabatku telah kembali. Doaku terkabul Vik…Aku selalu mendoakanmu agar  Allah mengembalikan sahabat terbaikku seperti dulu”

    Rasa haru menyelimuti hati kami. Hujan mungkin juga bisa merasakan apa yang kami rasakan. Terima kasih ya Allah Engkau berikan aku sahabat yang baik dan selalu mendoakanku. Aku ingin kembali mendekatiMu ya Allah…Aku teramat rindu padaMu. Hanya dengan berada di dekatMu hati ini tenang dan damai.
    ***

    (CacangTinggi, ketika sore Oktober diguyur hujan)

    Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar